Minggu, 27 Mei 2012

daun?


Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yg tulus.Bahwa terkadang daun jatuh bukan karena ia memang ingin pergi, menjatuhkan diri. Atau karena sang ranting lelah memeluknya hingga akhirnya jatuh begitu saja. Tidak...tidak selalu begitu. Sadarkah kau bahwa terkadang angin bertiup hingga akhirnya daunpun melayang, terombang-ambing dalam belaian sang angin dan akhirnya ia pun jatuh.-Tere Liye-

Selasa, 22 Mei 2012

Lind's Cafe, 21 Mei 2012

Kala itu, tepat jam 7 kami dua pasang muda-mudi datang menyambangi tempat itu, ya niatnya hanya makan sepiring es krim. Ya sepiring es krim. Kami sahabat ya sahabat :) Di sela-sela guraian
Tik... Tok... Tik.. Tok
Terdengar lirik lagu Pasto-Jujur Aku Tak Sanggup
Dan sampailah pada pembicaraanku dengan seseorang di pinggir bahuku.
KARENA DIA atau MESKIPUN DIA?
Lalu kujawab MESKIPUN DIA.....
seseorang itu : jadi kamu mau bunga yang lama vin?
aku : engga yoo, engga akan
ryo : kalo takdirnya sama bunga yang lama?
aku : aku pengennya sama yang baru, iya yo. yang segar.
ryo : (tersenyum lebar)
dan? selesai....

Minggu, 20 Mei 2012

Pelangi itu kaya harapan. Walau munculnya ga pasti kapan, pasti akan indah pada waktunya.

Sastra di Mata Masyarakat

Belajar mencintai bahasa dan sastra indonesia di tengah banyaknya masyarakat yang meremehkan sastra. Berusaha mencari tau dimana letak  bahasa dan sastra indonesia itu cacat sehingga  masyarakat menyepelehkan segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa dan sastra Indonesia. Dalam dunia Perguruan tinggi, jurusan bahasa dan sastra indonesia hampir tidak memiliki tempat didalam pandangan masyarakat, baik yang merupakan masyarakat berpendidikan yang mengetahui selukbeluk sastra maupun masyarakat yang masih awam dengan dunia bahasa dan sastra indonesia. dalam kenyataannya, banyak masyarakat yang menganggap bahasa dan sastra indonesia itu tidak bisa menjamin kehidupan seseorang yang menggelutinya akan baik. Namun, jika dipelajari lebih mendalam, secara tidak langsung masyarakat sngat menjunjung tinggi sastra yang tidak mereka sadari, karena indonesia memiliki sastra yang beraneka ragam bahkan banyak yang tidak terdeteksi lagi di masa sekarang. yang harus diluruskan adalah mengapa Bahasa dan sastra begitu dikucilkan di indonesia sendiri. seharusnya kita bangga dengan salah satu ciri khas yang kita miliki.

 

Antara Semiotika dan Sastra dalam Sebuah Puisi

TAPI
aku bawakan bunga padamu
                                       tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu
                                       tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
                                       tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
                                       tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
                                       tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padmu
                                       tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
                                       tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
                                       wah!

                                                   Sutardji Calzoum Bachri,
                                                   1981 

ANALISIS TERHADAP PUISI “TAPI”

            Puisi “Tapi” karangan Sutardji Calzoum Bachri menggambarkan sebuah pertentangan antara aku dan kau sehingga apa pun yang dibawa oleh aku selalu tak bermakna di mata kau.  Adanya pemisahan antara baris aku dan kau seolah menggambarkan perrcakapan antara dua orang yang tak akan pernah sejajar seperti Hamba dengan Tuhannya. Bila kita menganalisis dari segi semiotiknya sangat terlihat jelas bahwa seorang hamba tidak mungkin membawa bunga pada Tuhannya seperti pada baris pertama puisi aku bawakan bunga padamu. Kata bunga, resah, darah, mimpi, arwah, mayat, dan duka merupakan makna konotasi karena seorang hamba tidak akan membawa hal-hal demikian saat menghadap dengan penciptanya. Sedangkan kata bilang pada puisi merupakan makna konotasi dari firman karena Tuhan biasanya menggunakan kata “firman”.
            Gaya bahasa yang salah satunya digunakan pada puisi tersebut adalah hiperbola yaitu melebih-lebihkan. Bisa kita lihat dalam beberapa barisnya seperti aku bawakan mayatku padamu. Mana mungkin mayat kita sendiri bisa kita bawa sendiri kehadapn Tuhan kita. sungguh terlalu berlebihan.
            Untuk analisis semiotik lainnya yang berupa gambaran, dalam puisi “Tapi” karya Sutardji Calzoum Bachri ini kita dapat melihat 3 gambaran yaitu berupa  gambaran manusia,gambaran kesakitan, dan gambaran usaha.

Pertama untuk gambaran manusia, yaitu kata aku, kau, mayat, dan arwah. Kata aku dan kau merupakan kata ganti orang yaitu kata ganti orang pertama dan kata ganti orang ke dua. Namun kau  dalam puisi ini bukan merupakan gambaran manusia tetapi makna sebagai Tuhan. Mayat adalah bentuk jasad dari manusia yang telah meninggal dunia. Dalam puisi ini si aku adalah manusia jadi mayat ini tentu mayat dari manusia. Sedangkan Arwah adalah roh atau barupa banda abstrak yang lebih kita kenal sebagai jiwa dari sebuah mahluk yang salah satunya dimiliki oleh makhluk hidup berupa manusia. Kata “arwah” bisa kita masukan pada gambaran manusia karena arwah yang tertera dalam puisi adalah arwah yang dibawa oleh si aku yang notabene adalah manusia.
            Gambaran  kedua yaitu gambaran kesakitan. Gambaran  kesakitan yang terdapat dalam puisi ini adalah resah dan duka. Kata resah adalah berupa sebuah perasaan galau atau gelisah yang mendera hati manusia. Kata resah bisa kita golongkan dalam gambaran kesakitan karena resah itu membuat orang yang mengalaminya susah melakukan sesuatu karena dibebani oleh perasaan ini. Duka, kata ini merupakan antonim dari kata “suka”. Duka adalah perasaan kepedihan dan kesengsaraan yang dialami manusia seperti saat kehilangan. Dan kata ini bisa kita golongkan dalam gambaran kesakitan karena duka ini akan membuat hati orang yang mengalaminya terasa sakit dan sedih.
            Gambaran  yang ketiga yang terdapat dalam puisi tersebut adalah gambaran usaha. Kata yang bisa kita golongkan pada gambaran usaha adalah kata bawakan, bilang, dan datang. Bawakan merupakan kata kerja yaitu bawa yang berasal dari kata membawa yang mendapat imbukan –kan. Kata ini bisa kita golongkan pada gambaran usaha karena ini merupakan kata kerja. Kata bilang adalah kata yang biasanya dilakukan oleh lisan manusia dengan seperti kata berucap atau berbicara dan kata bilang pun masih kata kerja. Ini merupakan usaha untuk menyatakan sesuatu. Kata terakhir yaitu datang adalah dan kata lainya adalah hadir atau tiba. Ini merupakan usaha untuk menuju suatu tempat.  

             Maksud pesan dari pengarang dalam puisi tersebut adalah kedudukan atau nilai manusia tidak akanpernah dilihat oleh Tuhannya jika hanya menyombongkan diri dengan apa yang dimiliki manusia tersebut. Dalam puisi ini menceritakan tentang si aku yang setiap kali datang pada si kau selalu saja ada tak bermakna dalam pandangan si kau. Inti makna dari puisi tersebut adalah bahwa seorang manuasia aku janganlah merasa lebih besar atau hebat dari pada Tuhannya.
            Nilai atau kedudukan manusia tidak akan pernah bisa menyamai Tuhannya. Nilai manusia dimata Tuhannya selalu saja rendah karena walau bagaimana pun manusia itu hanyalah makhluk dari salah satu makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Penulis ingin memberitahu lewat puisi ini dan menjelaskan pada kita bahwa hanya pada Tuhanlah manusia menumpahkan atau membawa semua yang ada dalam dirinya baik jasad yang berupa darah, mayat maupun arwah, juga segala rasa seperti resah dan duka seperti yang penulis sampaikan pada pembacanya lewat puisi tersebut.

Antara Feminisme dan Sastra dalam Sebuah Novel

Dewasa ini perempuan seringkali diangap sebagai sosok  yang lemah dan menjadi sosok pelengkap. Tidak hanya kaum pria yang berpikiran seperti itu, tetapi juga perempuan yang tidak percaya diri dan kurang meyakini bahwa sebenarnya perempuan tidak diciptakan berbeda dengan kaum pria. Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah. Sedangkan perempuan identik dengan pribadi yang lembut,cantik,lemah,manja, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan  membersihkan rumah). Untuk masyarakat konsep tersebut sudah menjadi kodrat seorang perempuan yang alamiah dikarenakan faktor  biologis perempuan itu sendiri yang selalu dianggap lemah.

Ugoran Prasad dalam cerpennya yang berjudul Perempuan Sinting di dapur menceritakan seorang perempuan tua bernama Saodah yang menghidupi keluarganya sebagai penjual makanan di kampungnya. Makanan yang dimasaknya amatlah enak hingga semua orang rajin datang ke warungnya meski cara memasaknya sangat misterius dan secara pribadi Saodah bukan orang yang menyenangkan. Hingga pada suatu hari seorang pemuka kampung bernama Wak Haji Mail pada saat menjelang ajalnya ingin bertemu dengan Saodah sebelum hembusan nafas terakhirnya. Istri pertama Wak Haji Mail,yang bernama Misnah, menyuruh tokoh “aku” untuk menemui Saodah dan menyampaikan pesannya, tapi Saodah menolak. Tokoh “aku” mendapatkan alasan dari Aminah anak Saodah. Mengapa Saodah menolak permintaan Wak Haji Mail karena Wak Haji Mail berdosa pada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah, difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir,hingga  diasingkan orang kampung-kampung seperti penderita kusta, dibiarkan mati dalam keadaan hina. Sebelum meninggal,  Wak Haji mail berpesan lagi kepada istrinya untuk meminta Saodah memasak makanan yang akan dibagikan ketika tahlilan. Saodah menyanggupi dan pada saat Saodah memasak itulah tokoh “aku” dan anak Saodah yang bernama Aminah menemukan fakta bahwa selama masak, Saodah meludahi bahan makanan dan mengencingi panci masakan.
Dengan pendekatan feminisme, dapat kita analisis beberapa hal yang mengkritik seorang perempuan dalam kaitannya dengan hubungan antar gender. Dimulai dari awal cerita tentang Wak Haji Mail yang telah menikah tiga kali dan memiliki 14 anak. Tindakan poligami ini secara tidak langsung telah menguatkan konsep bahwa perempuan itu lemah dan laki-laki boleh berbuat apa saja sesuka hati. Seakan-akan perempuan itu selalu ditindas oleh kaum laki-laki.
Sedangkan pada tokoh Saodah sendiri, kita dapat melihat bagaimana konsep seorang perempuan yang dijelaskan pada cerpen tersebut. Urgon Prasad menerangkan bahwa perempuan akan diterima dan dianggap sebagai perempuan ketika mampu memenuhi kodratnya sebagai seorang perempuan. Maksud dalam cerpen ini adalah memasak. Saodah mempunyai keahlian memasak bagi orang kampung, oleh karena itu dia tidak dikucilkan oleh orang sekampungnya padahal ia memiliki seorang suami yang murtad. Pernyataan bahwa masakan Saodah telah mengangkat derajatnya sebagai seorang perempuan ini terlihat pada perkataan Aminah “”Bukan, bukan berdagangnya. Memasak untuk orang kampung. Ya, itu yang menyelamatkannya,” kalimat Aminah terputus sebentar. Sorot matanya sempat nyalang ketika dia bergumam, ”itu menyelamatkanku.”

 Selama ini kita ketahui pekerjaan memasak di dapur yang dianggap oleh laki-laki sebagai sesuatu pekerjaan yang sepele dan sebagai tugas perempuan yang tidak membutuhkan kerja fisik. Padahal di dalam tokoh Saodah terlihat ia dapat memanfaatkan keahliannya memasak itu untuk menghidupi keluarganya sehari-hari. Ia dapat menghidupi keluarganya seorang diri tanpa suami dan tanpa bantuan siapapun,terlihat jelas saat Saodah memasak ia selalu menolak bantuan dari siapapun. Hal ini membuktikan bahwa perempuan bukan kaum yang selalu dipandang lemah. Dikuatkan lagi dengan tokoh Saodah yang tidak ramah serta memiliki pribadi yang tidak disukai orang-orang,disini terlihat ia bukan seperti janda-janda pada umumnya yang genit,dan menyambung hidup dengan belas kasihan laki-laki.
Pandangan  bahwa perempuan lemah juga terlihat pada percakapan Wak Misnah kepada tokoh “Aku” dalam wejangannya setelah tahlilan Wak Haji Mail “Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah. Laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur. ” Pandangan seperti inilah yang harus kita ubah bersama. Bahwa sudah tidak masanya lagi perempuan yang sukses adalah perempuan yang diam di rumah saja dan menganggap kontribusi untuk dunia luar tidaklah penting. Banyak orang yang termakan pola berpikir bahwa peran perempuan terbatas pada dapur, sumur dan tempat tidur, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting.

Pernyataan diatas itu secara implisif menjadi sebuah kritik bagi konsep perbedaan gender laki-laki dan perempuan. Para lelaki selalu menganggap bahwa pekerjaan perempuan sangatlah mudah,tidak memerlukan kekuatan fisik,dan hanya dirumah saja. Sedangkan laki-laki yang terlihat sangat berjasa karena membanting tulang mencari nafkah untuk keluarga. Padahal sejatinya tugas seorang perempuan sangatlah banyak dalam keluarga dan tentunya tidak semudah yang dibayangkan para lelaki. Para lelaki  harusnya sadar, peran sebagai seorang ibu itu sangat melelahkan dan tak mengenal batas waktu. Dalam cerpen “Perempuan Sinting di Dapur” telah mengisyaratkan pesan-pesan tersebut.


Hakikat Sastra

Sastra mendidik seseorang tanpa paksaan dan media untuk mendidik manusia. Di dalam banyak kesempatan banyak pihak yang memandang sastra sebelah mata. Banyak orang mengatakan karya sastra sebagai karya lamunan atau khayalan. Sebenarnya karya sastra merupakan adalah karya intelektual. Maka dari itu karya sastra hanya dapat diciptakan oleh orang-orang yang berintelektual tinggi. Sastra juga diyakini sebagai fungsi hiburan dan edukasi sehingga dapat menjadi media penanaman  nilai-nilai dalam pengembangan hidup seseorang, masyarakat,dan bangsa. Maksud dalam sebagai fungsi edukasi adalah karya sastra memberikan pemikiran yang lebih yang dapat memngembangkan wawasan kepada pembaca. Sementara itu, sastra sebagai hiburan adalah sastra memberikan fungsi penyegaran bagi sang pembaca. Keindahan kata-kata yang terkandung dalam karya sastra diyakini dapat menyegarkan pikiran dan perasaan pembacanya. Oleh karena itu sejalan dengan Horace, menyatakan bahwa sastra memiliki fungsi dulce et utile, yakni fungsi menyenangkan dan berguna. Menyenangkan artinya menghibur (menyegarkan), sedangkan (mendidik) artinya memberikan pencerahan pemikiran bagi pembaca.
Sastra membangun kesadaran yang sudah menjadi keyakinan masyarakat sejak lama. Untuk membangun jiwa yang ulet dan cerdas, contohnya nenek moyang kita mewariskan pemikiran-pemikiran bijaknya melalui karya sastra seperti peribahasa dan pantun. Kita sangat mengenal peribahasa ataupun pantun yang menegmas nasihat-nasihat untuk kehidupan. Tujuannya adalah supaya kita lebih bersemangat dalam mengarungi beratnya kehidupan. Misalnya:
Berakit-rakit dahulu
Berenang-renang kemudian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Semua mengetahui tidak ada keberhasilan yang dapat diraih tanpa adanya pengorbanan. Untuk beketrja keras tentunya harus dibudayakan sejak dini. Nenek moyang kita telah mencontohkan pentingnya kerja keras dalam meraih suatu kesuksesan. Selain itu terdapat pula peribahasa yang dapat kita ambil maknanya. Misalnya “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” maksudnya sekali beraktivitas beberapa tujuan pual dapat tercapai.