Minggu, 20 Mei 2012

Antara Feminisme dan Sastra dalam Sebuah Novel

Dewasa ini perempuan seringkali diangap sebagai sosok  yang lemah dan menjadi sosok pelengkap. Tidak hanya kaum pria yang berpikiran seperti itu, tetapi juga perempuan yang tidak percaya diri dan kurang meyakini bahwa sebenarnya perempuan tidak diciptakan berbeda dengan kaum pria. Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah. Sedangkan perempuan identik dengan pribadi yang lembut,cantik,lemah,manja, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan  membersihkan rumah). Untuk masyarakat konsep tersebut sudah menjadi kodrat seorang perempuan yang alamiah dikarenakan faktor  biologis perempuan itu sendiri yang selalu dianggap lemah.

Ugoran Prasad dalam cerpennya yang berjudul Perempuan Sinting di dapur menceritakan seorang perempuan tua bernama Saodah yang menghidupi keluarganya sebagai penjual makanan di kampungnya. Makanan yang dimasaknya amatlah enak hingga semua orang rajin datang ke warungnya meski cara memasaknya sangat misterius dan secara pribadi Saodah bukan orang yang menyenangkan. Hingga pada suatu hari seorang pemuka kampung bernama Wak Haji Mail pada saat menjelang ajalnya ingin bertemu dengan Saodah sebelum hembusan nafas terakhirnya. Istri pertama Wak Haji Mail,yang bernama Misnah, menyuruh tokoh “aku” untuk menemui Saodah dan menyampaikan pesannya, tapi Saodah menolak. Tokoh “aku” mendapatkan alasan dari Aminah anak Saodah. Mengapa Saodah menolak permintaan Wak Haji Mail karena Wak Haji Mail berdosa pada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah, difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir,hingga  diasingkan orang kampung-kampung seperti penderita kusta, dibiarkan mati dalam keadaan hina. Sebelum meninggal,  Wak Haji mail berpesan lagi kepada istrinya untuk meminta Saodah memasak makanan yang akan dibagikan ketika tahlilan. Saodah menyanggupi dan pada saat Saodah memasak itulah tokoh “aku” dan anak Saodah yang bernama Aminah menemukan fakta bahwa selama masak, Saodah meludahi bahan makanan dan mengencingi panci masakan.
Dengan pendekatan feminisme, dapat kita analisis beberapa hal yang mengkritik seorang perempuan dalam kaitannya dengan hubungan antar gender. Dimulai dari awal cerita tentang Wak Haji Mail yang telah menikah tiga kali dan memiliki 14 anak. Tindakan poligami ini secara tidak langsung telah menguatkan konsep bahwa perempuan itu lemah dan laki-laki boleh berbuat apa saja sesuka hati. Seakan-akan perempuan itu selalu ditindas oleh kaum laki-laki.
Sedangkan pada tokoh Saodah sendiri, kita dapat melihat bagaimana konsep seorang perempuan yang dijelaskan pada cerpen tersebut. Urgon Prasad menerangkan bahwa perempuan akan diterima dan dianggap sebagai perempuan ketika mampu memenuhi kodratnya sebagai seorang perempuan. Maksud dalam cerpen ini adalah memasak. Saodah mempunyai keahlian memasak bagi orang kampung, oleh karena itu dia tidak dikucilkan oleh orang sekampungnya padahal ia memiliki seorang suami yang murtad. Pernyataan bahwa masakan Saodah telah mengangkat derajatnya sebagai seorang perempuan ini terlihat pada perkataan Aminah “”Bukan, bukan berdagangnya. Memasak untuk orang kampung. Ya, itu yang menyelamatkannya,” kalimat Aminah terputus sebentar. Sorot matanya sempat nyalang ketika dia bergumam, ”itu menyelamatkanku.”

 Selama ini kita ketahui pekerjaan memasak di dapur yang dianggap oleh laki-laki sebagai sesuatu pekerjaan yang sepele dan sebagai tugas perempuan yang tidak membutuhkan kerja fisik. Padahal di dalam tokoh Saodah terlihat ia dapat memanfaatkan keahliannya memasak itu untuk menghidupi keluarganya sehari-hari. Ia dapat menghidupi keluarganya seorang diri tanpa suami dan tanpa bantuan siapapun,terlihat jelas saat Saodah memasak ia selalu menolak bantuan dari siapapun. Hal ini membuktikan bahwa perempuan bukan kaum yang selalu dipandang lemah. Dikuatkan lagi dengan tokoh Saodah yang tidak ramah serta memiliki pribadi yang tidak disukai orang-orang,disini terlihat ia bukan seperti janda-janda pada umumnya yang genit,dan menyambung hidup dengan belas kasihan laki-laki.
Pandangan  bahwa perempuan lemah juga terlihat pada percakapan Wak Misnah kepada tokoh “Aku” dalam wejangannya setelah tahlilan Wak Haji Mail “Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah. Laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur. ” Pandangan seperti inilah yang harus kita ubah bersama. Bahwa sudah tidak masanya lagi perempuan yang sukses adalah perempuan yang diam di rumah saja dan menganggap kontribusi untuk dunia luar tidaklah penting. Banyak orang yang termakan pola berpikir bahwa peran perempuan terbatas pada dapur, sumur dan tempat tidur, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting.

Pernyataan diatas itu secara implisif menjadi sebuah kritik bagi konsep perbedaan gender laki-laki dan perempuan. Para lelaki selalu menganggap bahwa pekerjaan perempuan sangatlah mudah,tidak memerlukan kekuatan fisik,dan hanya dirumah saja. Sedangkan laki-laki yang terlihat sangat berjasa karena membanting tulang mencari nafkah untuk keluarga. Padahal sejatinya tugas seorang perempuan sangatlah banyak dalam keluarga dan tentunya tidak semudah yang dibayangkan para lelaki. Para lelaki  harusnya sadar, peran sebagai seorang ibu itu sangat melelahkan dan tak mengenal batas waktu. Dalam cerpen “Perempuan Sinting di Dapur” telah mengisyaratkan pesan-pesan tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar