Minggu, 27 Mei 2012

daun?


Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yg tulus.Bahwa terkadang daun jatuh bukan karena ia memang ingin pergi, menjatuhkan diri. Atau karena sang ranting lelah memeluknya hingga akhirnya jatuh begitu saja. Tidak...tidak selalu begitu. Sadarkah kau bahwa terkadang angin bertiup hingga akhirnya daunpun melayang, terombang-ambing dalam belaian sang angin dan akhirnya ia pun jatuh.-Tere Liye-

Selasa, 22 Mei 2012

Lind's Cafe, 21 Mei 2012

Kala itu, tepat jam 7 kami dua pasang muda-mudi datang menyambangi tempat itu, ya niatnya hanya makan sepiring es krim. Ya sepiring es krim. Kami sahabat ya sahabat :) Di sela-sela guraian
Tik... Tok... Tik.. Tok
Terdengar lirik lagu Pasto-Jujur Aku Tak Sanggup
Dan sampailah pada pembicaraanku dengan seseorang di pinggir bahuku.
KARENA DIA atau MESKIPUN DIA?
Lalu kujawab MESKIPUN DIA.....
seseorang itu : jadi kamu mau bunga yang lama vin?
aku : engga yoo, engga akan
ryo : kalo takdirnya sama bunga yang lama?
aku : aku pengennya sama yang baru, iya yo. yang segar.
ryo : (tersenyum lebar)
dan? selesai....

Minggu, 20 Mei 2012

Pelangi itu kaya harapan. Walau munculnya ga pasti kapan, pasti akan indah pada waktunya.

Sastra di Mata Masyarakat

Belajar mencintai bahasa dan sastra indonesia di tengah banyaknya masyarakat yang meremehkan sastra. Berusaha mencari tau dimana letak  bahasa dan sastra indonesia itu cacat sehingga  masyarakat menyepelehkan segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa dan sastra Indonesia. Dalam dunia Perguruan tinggi, jurusan bahasa dan sastra indonesia hampir tidak memiliki tempat didalam pandangan masyarakat, baik yang merupakan masyarakat berpendidikan yang mengetahui selukbeluk sastra maupun masyarakat yang masih awam dengan dunia bahasa dan sastra indonesia. dalam kenyataannya, banyak masyarakat yang menganggap bahasa dan sastra indonesia itu tidak bisa menjamin kehidupan seseorang yang menggelutinya akan baik. Namun, jika dipelajari lebih mendalam, secara tidak langsung masyarakat sngat menjunjung tinggi sastra yang tidak mereka sadari, karena indonesia memiliki sastra yang beraneka ragam bahkan banyak yang tidak terdeteksi lagi di masa sekarang. yang harus diluruskan adalah mengapa Bahasa dan sastra begitu dikucilkan di indonesia sendiri. seharusnya kita bangga dengan salah satu ciri khas yang kita miliki.

 

Antara Semiotika dan Sastra dalam Sebuah Puisi

TAPI
aku bawakan bunga padamu
                                       tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu
                                       tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
                                       tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
                                       tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
                                       tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padmu
                                       tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
                                       tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
                                       wah!

                                                   Sutardji Calzoum Bachri,
                                                   1981 

ANALISIS TERHADAP PUISI “TAPI”

            Puisi “Tapi” karangan Sutardji Calzoum Bachri menggambarkan sebuah pertentangan antara aku dan kau sehingga apa pun yang dibawa oleh aku selalu tak bermakna di mata kau.  Adanya pemisahan antara baris aku dan kau seolah menggambarkan perrcakapan antara dua orang yang tak akan pernah sejajar seperti Hamba dengan Tuhannya. Bila kita menganalisis dari segi semiotiknya sangat terlihat jelas bahwa seorang hamba tidak mungkin membawa bunga pada Tuhannya seperti pada baris pertama puisi aku bawakan bunga padamu. Kata bunga, resah, darah, mimpi, arwah, mayat, dan duka merupakan makna konotasi karena seorang hamba tidak akan membawa hal-hal demikian saat menghadap dengan penciptanya. Sedangkan kata bilang pada puisi merupakan makna konotasi dari firman karena Tuhan biasanya menggunakan kata “firman”.
            Gaya bahasa yang salah satunya digunakan pada puisi tersebut adalah hiperbola yaitu melebih-lebihkan. Bisa kita lihat dalam beberapa barisnya seperti aku bawakan mayatku padamu. Mana mungkin mayat kita sendiri bisa kita bawa sendiri kehadapn Tuhan kita. sungguh terlalu berlebihan.
            Untuk analisis semiotik lainnya yang berupa gambaran, dalam puisi “Tapi” karya Sutardji Calzoum Bachri ini kita dapat melihat 3 gambaran yaitu berupa  gambaran manusia,gambaran kesakitan, dan gambaran usaha.

Pertama untuk gambaran manusia, yaitu kata aku, kau, mayat, dan arwah. Kata aku dan kau merupakan kata ganti orang yaitu kata ganti orang pertama dan kata ganti orang ke dua. Namun kau  dalam puisi ini bukan merupakan gambaran manusia tetapi makna sebagai Tuhan. Mayat adalah bentuk jasad dari manusia yang telah meninggal dunia. Dalam puisi ini si aku adalah manusia jadi mayat ini tentu mayat dari manusia. Sedangkan Arwah adalah roh atau barupa banda abstrak yang lebih kita kenal sebagai jiwa dari sebuah mahluk yang salah satunya dimiliki oleh makhluk hidup berupa manusia. Kata “arwah” bisa kita masukan pada gambaran manusia karena arwah yang tertera dalam puisi adalah arwah yang dibawa oleh si aku yang notabene adalah manusia.
            Gambaran  kedua yaitu gambaran kesakitan. Gambaran  kesakitan yang terdapat dalam puisi ini adalah resah dan duka. Kata resah adalah berupa sebuah perasaan galau atau gelisah yang mendera hati manusia. Kata resah bisa kita golongkan dalam gambaran kesakitan karena resah itu membuat orang yang mengalaminya susah melakukan sesuatu karena dibebani oleh perasaan ini. Duka, kata ini merupakan antonim dari kata “suka”. Duka adalah perasaan kepedihan dan kesengsaraan yang dialami manusia seperti saat kehilangan. Dan kata ini bisa kita golongkan dalam gambaran kesakitan karena duka ini akan membuat hati orang yang mengalaminya terasa sakit dan sedih.
            Gambaran  yang ketiga yang terdapat dalam puisi tersebut adalah gambaran usaha. Kata yang bisa kita golongkan pada gambaran usaha adalah kata bawakan, bilang, dan datang. Bawakan merupakan kata kerja yaitu bawa yang berasal dari kata membawa yang mendapat imbukan –kan. Kata ini bisa kita golongkan pada gambaran usaha karena ini merupakan kata kerja. Kata bilang adalah kata yang biasanya dilakukan oleh lisan manusia dengan seperti kata berucap atau berbicara dan kata bilang pun masih kata kerja. Ini merupakan usaha untuk menyatakan sesuatu. Kata terakhir yaitu datang adalah dan kata lainya adalah hadir atau tiba. Ini merupakan usaha untuk menuju suatu tempat.  

             Maksud pesan dari pengarang dalam puisi tersebut adalah kedudukan atau nilai manusia tidak akanpernah dilihat oleh Tuhannya jika hanya menyombongkan diri dengan apa yang dimiliki manusia tersebut. Dalam puisi ini menceritakan tentang si aku yang setiap kali datang pada si kau selalu saja ada tak bermakna dalam pandangan si kau. Inti makna dari puisi tersebut adalah bahwa seorang manuasia aku janganlah merasa lebih besar atau hebat dari pada Tuhannya.
            Nilai atau kedudukan manusia tidak akan pernah bisa menyamai Tuhannya. Nilai manusia dimata Tuhannya selalu saja rendah karena walau bagaimana pun manusia itu hanyalah makhluk dari salah satu makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Penulis ingin memberitahu lewat puisi ini dan menjelaskan pada kita bahwa hanya pada Tuhanlah manusia menumpahkan atau membawa semua yang ada dalam dirinya baik jasad yang berupa darah, mayat maupun arwah, juga segala rasa seperti resah dan duka seperti yang penulis sampaikan pada pembacanya lewat puisi tersebut.

Antara Feminisme dan Sastra dalam Sebuah Novel

Dewasa ini perempuan seringkali diangap sebagai sosok  yang lemah dan menjadi sosok pelengkap. Tidak hanya kaum pria yang berpikiran seperti itu, tetapi juga perempuan yang tidak percaya diri dan kurang meyakini bahwa sebenarnya perempuan tidak diciptakan berbeda dengan kaum pria. Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah. Sedangkan perempuan identik dengan pribadi yang lembut,cantik,lemah,manja, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan  membersihkan rumah). Untuk masyarakat konsep tersebut sudah menjadi kodrat seorang perempuan yang alamiah dikarenakan faktor  biologis perempuan itu sendiri yang selalu dianggap lemah.

Ugoran Prasad dalam cerpennya yang berjudul Perempuan Sinting di dapur menceritakan seorang perempuan tua bernama Saodah yang menghidupi keluarganya sebagai penjual makanan di kampungnya. Makanan yang dimasaknya amatlah enak hingga semua orang rajin datang ke warungnya meski cara memasaknya sangat misterius dan secara pribadi Saodah bukan orang yang menyenangkan. Hingga pada suatu hari seorang pemuka kampung bernama Wak Haji Mail pada saat menjelang ajalnya ingin bertemu dengan Saodah sebelum hembusan nafas terakhirnya. Istri pertama Wak Haji Mail,yang bernama Misnah, menyuruh tokoh “aku” untuk menemui Saodah dan menyampaikan pesannya, tapi Saodah menolak. Tokoh “aku” mendapatkan alasan dari Aminah anak Saodah. Mengapa Saodah menolak permintaan Wak Haji Mail karena Wak Haji Mail berdosa pada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah, difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir,hingga  diasingkan orang kampung-kampung seperti penderita kusta, dibiarkan mati dalam keadaan hina. Sebelum meninggal,  Wak Haji mail berpesan lagi kepada istrinya untuk meminta Saodah memasak makanan yang akan dibagikan ketika tahlilan. Saodah menyanggupi dan pada saat Saodah memasak itulah tokoh “aku” dan anak Saodah yang bernama Aminah menemukan fakta bahwa selama masak, Saodah meludahi bahan makanan dan mengencingi panci masakan.
Dengan pendekatan feminisme, dapat kita analisis beberapa hal yang mengkritik seorang perempuan dalam kaitannya dengan hubungan antar gender. Dimulai dari awal cerita tentang Wak Haji Mail yang telah menikah tiga kali dan memiliki 14 anak. Tindakan poligami ini secara tidak langsung telah menguatkan konsep bahwa perempuan itu lemah dan laki-laki boleh berbuat apa saja sesuka hati. Seakan-akan perempuan itu selalu ditindas oleh kaum laki-laki.
Sedangkan pada tokoh Saodah sendiri, kita dapat melihat bagaimana konsep seorang perempuan yang dijelaskan pada cerpen tersebut. Urgon Prasad menerangkan bahwa perempuan akan diterima dan dianggap sebagai perempuan ketika mampu memenuhi kodratnya sebagai seorang perempuan. Maksud dalam cerpen ini adalah memasak. Saodah mempunyai keahlian memasak bagi orang kampung, oleh karena itu dia tidak dikucilkan oleh orang sekampungnya padahal ia memiliki seorang suami yang murtad. Pernyataan bahwa masakan Saodah telah mengangkat derajatnya sebagai seorang perempuan ini terlihat pada perkataan Aminah “”Bukan, bukan berdagangnya. Memasak untuk orang kampung. Ya, itu yang menyelamatkannya,” kalimat Aminah terputus sebentar. Sorot matanya sempat nyalang ketika dia bergumam, ”itu menyelamatkanku.”

 Selama ini kita ketahui pekerjaan memasak di dapur yang dianggap oleh laki-laki sebagai sesuatu pekerjaan yang sepele dan sebagai tugas perempuan yang tidak membutuhkan kerja fisik. Padahal di dalam tokoh Saodah terlihat ia dapat memanfaatkan keahliannya memasak itu untuk menghidupi keluarganya sehari-hari. Ia dapat menghidupi keluarganya seorang diri tanpa suami dan tanpa bantuan siapapun,terlihat jelas saat Saodah memasak ia selalu menolak bantuan dari siapapun. Hal ini membuktikan bahwa perempuan bukan kaum yang selalu dipandang lemah. Dikuatkan lagi dengan tokoh Saodah yang tidak ramah serta memiliki pribadi yang tidak disukai orang-orang,disini terlihat ia bukan seperti janda-janda pada umumnya yang genit,dan menyambung hidup dengan belas kasihan laki-laki.
Pandangan  bahwa perempuan lemah juga terlihat pada percakapan Wak Misnah kepada tokoh “Aku” dalam wejangannya setelah tahlilan Wak Haji Mail “Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah. Laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur. ” Pandangan seperti inilah yang harus kita ubah bersama. Bahwa sudah tidak masanya lagi perempuan yang sukses adalah perempuan yang diam di rumah saja dan menganggap kontribusi untuk dunia luar tidaklah penting. Banyak orang yang termakan pola berpikir bahwa peran perempuan terbatas pada dapur, sumur dan tempat tidur, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting.

Pernyataan diatas itu secara implisif menjadi sebuah kritik bagi konsep perbedaan gender laki-laki dan perempuan. Para lelaki selalu menganggap bahwa pekerjaan perempuan sangatlah mudah,tidak memerlukan kekuatan fisik,dan hanya dirumah saja. Sedangkan laki-laki yang terlihat sangat berjasa karena membanting tulang mencari nafkah untuk keluarga. Padahal sejatinya tugas seorang perempuan sangatlah banyak dalam keluarga dan tentunya tidak semudah yang dibayangkan para lelaki. Para lelaki  harusnya sadar, peran sebagai seorang ibu itu sangat melelahkan dan tak mengenal batas waktu. Dalam cerpen “Perempuan Sinting di Dapur” telah mengisyaratkan pesan-pesan tersebut.


Hakikat Sastra

Sastra mendidik seseorang tanpa paksaan dan media untuk mendidik manusia. Di dalam banyak kesempatan banyak pihak yang memandang sastra sebelah mata. Banyak orang mengatakan karya sastra sebagai karya lamunan atau khayalan. Sebenarnya karya sastra merupakan adalah karya intelektual. Maka dari itu karya sastra hanya dapat diciptakan oleh orang-orang yang berintelektual tinggi. Sastra juga diyakini sebagai fungsi hiburan dan edukasi sehingga dapat menjadi media penanaman  nilai-nilai dalam pengembangan hidup seseorang, masyarakat,dan bangsa. Maksud dalam sebagai fungsi edukasi adalah karya sastra memberikan pemikiran yang lebih yang dapat memngembangkan wawasan kepada pembaca. Sementara itu, sastra sebagai hiburan adalah sastra memberikan fungsi penyegaran bagi sang pembaca. Keindahan kata-kata yang terkandung dalam karya sastra diyakini dapat menyegarkan pikiran dan perasaan pembacanya. Oleh karena itu sejalan dengan Horace, menyatakan bahwa sastra memiliki fungsi dulce et utile, yakni fungsi menyenangkan dan berguna. Menyenangkan artinya menghibur (menyegarkan), sedangkan (mendidik) artinya memberikan pencerahan pemikiran bagi pembaca.
Sastra membangun kesadaran yang sudah menjadi keyakinan masyarakat sejak lama. Untuk membangun jiwa yang ulet dan cerdas, contohnya nenek moyang kita mewariskan pemikiran-pemikiran bijaknya melalui karya sastra seperti peribahasa dan pantun. Kita sangat mengenal peribahasa ataupun pantun yang menegmas nasihat-nasihat untuk kehidupan. Tujuannya adalah supaya kita lebih bersemangat dalam mengarungi beratnya kehidupan. Misalnya:
Berakit-rakit dahulu
Berenang-renang kemudian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Semua mengetahui tidak ada keberhasilan yang dapat diraih tanpa adanya pengorbanan. Untuk beketrja keras tentunya harus dibudayakan sejak dini. Nenek moyang kita telah mencontohkan pentingnya kerja keras dalam meraih suatu kesuksesan. Selain itu terdapat pula peribahasa yang dapat kita ambil maknanya. Misalnya “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” maksudnya sekali beraktivitas beberapa tujuan pual dapat tercapai.

Karya Sang Maestro

Dalam perkembangan tari konteporer Indonesia Sardono Waluyo Kusumo adalah sebuah nama yang mendapatkan tempat khusus. Melalui karya tarinya Sardono telah membawa nafas baru dalam dunia koreografi. Keinginannya untuk membumikan seni tradisi Jawa dan sekaligus membawa nilai modern ke dalam telah menempatkan Sardono sebagai satu ikon seni tari kontemporer Indonesia.
Kolaborasi antara pameran lukisan abstrak dan penampilan tarian-tarian modern malam itu Sabtu 29 April 2012 yang bertempat di Galeri Semarang telah berhasil di pamerkan oleh sang maestro Sudarno W Kusumo. Kemarin kurang lebih 20 lukisan abstrak memadati  Galeri Semarang. Dengan penyinaran yang sangat sempurna dari sudut ke sudut membuat megah pameran tersebut. Dari lantai satu sampai lantai dua dipadati pengunjung yang ingin melihat karya-karya sang maestro tari.
Tari yang ditampilkan ada tiga, yang pertama sebuah tari modern dengan tiga orang penari terdiri dari dua orang wanita dan satu penari pria. Tari tersebut yang menceritakan sebuah kisah cinta segitiga diiringi oleh dua alat musik tradisional yang dimainkan oleh dua orang pemain musik. Yang kedua sebuah tarian kreativitas yang ditampilkan oleh seorang penari wanita dari IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Tarian tersebut menceritakan sebuah lukisan yang dibuat oleh gerakan tubuh sang penari di atas kanvas dengan media tubuhnya sendiri. Yang ketiga adalah sebuah kolaborasi antara tarian dan musik. Musiknya diaminkan oleh banyak pemain musik, sedangkan penarinya hanya satu wanita. Musik menggambarkan ekspresi-ekspresi dan perasaan sang penari. Misalnya pada intonasi cepat menggambarkan ekspresi atau perasaan marah sang penari.

Menulis

KERISAUAN Taufiq Ismail, seorang penyair Angkatan 66, melihat generasi muda kita buta membaca dan lumpuh menulis sangat beralasan. Dia melihat hal ini sebagai akibat buruk dari dimatikannya kewajiban membaca 25 buku dan mengarang 40 jam setahun bagi murid-murid SMA, yang terjadi sejak berakhirnya sistem pendidikan AMS (setingkat SMA di zaman Belanda).
Kurikulum pendidikan yang tidak menganggap membaca dan menulis sebagai pelajaran penting adalah akar penyebab rendahnya kemampuan menulis pemuda kita saat ini. 

Pembelajaran Bahasa Indonesia dan sastra hanya dijejali dengan nama-nama sastrawan dan judul karyanya, yang semua itu bersifat hapalan. Siswa hanya diminta untuk bisa menjawab soal-soal ujian multychoice (pilihan ganda). Minim apresiasi sastra, terbatas penilaian terhadap karya-karya yang mereka tulis sendiri. Padahal dari bangku sekolah inilah, seharusnya pemuda kita sejak dini diperkenalkan dengan membaca sastra dan belajar menulis karya sastra yang baik. 

Hal ini semakin diperburuk dengan rendahnya kemampuan membaca dan menulis dari guru-guru bahasa Indonesia. Para guru tersebut lebih disibukkan dengan pembuatan bahan pelajaran, lembaran evaluasi siswa, ikut pelatihan ini itu, pada akhir-akhir tahun ajaran direpotkan dengan les tambahan untuk pemantapan nilai bahasa Indonesia para siswa kalau tidak mau sekolah mereka tercoreng namanya gara-gara banyak siswanya tidak lulus UN. Suasana yang demikian tidak bersahabat itulah menyebabkan dangkalnya pembelajaran menulis di sekolah. Lagi pula, menulis bukanlah poin penilaian yang diujikan pada UN. Buat apa repot, toh tak ada pentingnya. 
Benarkah demikian? Padahal, menulis adalah salah satu tahapan belajar yang sangat penting bagi peningkatakan kreativitas siswa dan menumbuhkan daya analisanya. Jangan heran dengan sistem pengujian yang semuanya pilihan ganda itu menumpulkan kreativitas dan analisa siswa. Semuanya disandarkan kepada kemampuan hafalan, yang itu tidak lama bertahan di kepala. Tidak heran jika kemampuan daya saing SDM lulusan perguruan tinggi di negeri ini sangat rendah. Bahkan, BPS mencatat bahwa penyerapan lulusan perguruan tinggi di dunia kerja hanya 6 persen. 

Sangat rendah dibandingkan dengan mereka yang hanya tamatan SD, yang tingkat penyerapannya lebih dari 70 persen. Mungkin pekerja yang tamatan SD itu cuma mengandalkan otot yang tidak butuh keahlian dan keterampilan khusus. Sedangkan yang bergelar sarjana tentu yang diutamakan adalah skil atau keahliannya. Keahlian seseorang sangat berhubungan dengan tingkat kreativitas yang dimilikinya serta kemampuan analisa yang mendalam sehingga mampu memberikan solusi yang tepat untuk setiap masalah yang dihadapi. 

Berangkat dari masalah inilah, mengapa di negara maju kemampuan membaca dan menulis adalah sesuatu yang sangat menentukan. Karena membaca dan menulis adalah dua kemampuan dasar yang mutlak dimiliki oleh seorang profesional. Sedangkan matematikan, fisika, kimia, biologi, teknik dan sebagainya hanya alat bantu yang dipakai sesuai dengan kebutuhan masing-masing bidangnya. Anehnya lagi, pendidikan kita lebih mengutamakan penguasaan secara “mati-matian” terhadap alat bantu ini ketimbang memperkuat kemampuan dasar siswa. Mungkin Anda merasa aneh dan agak geli ketika mendengar dalam kurikulum di negara ini ada pelajaran “membaca cepat” dan “mengarang 24 jam” seminggu. 

Namun itu bukanlah sesuatu yang mengherankan apalagi menggelikan di negara seperti Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, Jerman dan beberapa negara maju lainnya. Bahkan di Selandia Baru, yang merupakan salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia, malahan mewajibakan pelajaran membaca dan menulis sekitar 50 persen dari seluruh jam pelajaran. Bandingkan dengan negara kita, yang cuma fokus pada nilai UN yang lebih dari 5,5. Padahal angka-angka tersebut tidak terlalu berguna di dunia kerja nanti. 

Menulis pada dasarnya adalah satu dari empat skil atau keterampilan dasar komunikasi, selain itu ada keterampilan berbicara, membaca dan mendengar. Karena itulah, menulis menjadi sangat penting untuk meningkatkan kemampuan komunikasi seseorang. Dalam berbagai aspek kehidupan dan terutama di dunia kerja, kemampuan menulis sangat dituntut. Mereka yang memiliki kemampuan menulis yang baik, biasanya selalu kelihatan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lainnya. 

Dalam perkembangan informasi yang demikian pesatnya, menulis adalah salah satu profesi yang sangat menjanjikan. Kemampuan menulis hampir tidak bisa dipisahkan dari dunia jurnalistik, baik cetak maupun elektronik. Lebih luas lagi, menulis dibutuhkan dalam pembuatan film, sinetron, film animasi, program acara di televisi dan sebagainya. Sampai-sampai untuk mengonsep sebuah teks pidato pejabat, dibutuhkan adanya seorangspeechwriter (penulis pidato) yang biasanya adalah penulis profesional, dan mereka dibayar untuk itu. Mereka yang berprofesi sebagai penulis buku dan novel untuk saat ini bisa dijadikan sebagai sumber nafkah. Bahkan, tidak sedikit penulis profesional yang hidup berkecukupan dari hasil kerja kreatifnya itu. 

Selain itu, menulis telah terbukti secara ilmiah mampu meningkatkan kecerdasan pada anak-anak terutama kecerdasan berbahasa dan kecerdasan intra-personalnya. Bagi pelajar dan mahasiswa yang memiliki kemampuan menulis yang baik, biasanya selalu kelihatan lebih menonjol dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Karena mereka memiliki prestasi dalam lomba-lomba penulisan mulai dari tingkat daerah sampai nasional. Mereka ini masuk dalam golongan pelajar top atau bintang sekolah dan kampus. 

Menulis adalah sebuah skil atau keterampilan yang bisa dipelajari dan dikembangkan. Belajar menulis sama saja dengan belajar bahasa asing. Tidak dibutuhkan bakat dalam menulis, tapi dengan latihan yang rutin dan terus-menerus, keseriusan, kesabaran, ketekunan dan semangat pantang menyerah serta tidak cepat puas. 

Walau akhir-akhir ini banyak bermunculan penulis muda, namun itu tidak berangkat dari basik sekolah. Mereka lahir dari sejumlah komunitas penulisan yang sejak tahun 90-an marak bermunculan di Tanah Air. Sebagian besar dari mereka berangkat dari hobi. Bukan karena adanya pembinaan dan pendampingan secara kontiniu. Semacam bakat alam yang kemudian terasah di komunitas penulisan, sekolah-sekolah menulis, pelatihan dan seminar-seminar. Jumlahnya pun fluktuatif seiringan dengan tren dan denyut komersialisasi pasar yang di-setting oleh penerbit.